Saatnya Krisis Iklim Jadi Isu Prioritas Pada Pemilu 2024
Tahun politik 2024 bisa menjadi momentum untuk menguatkan isu lingkungan di kalangan partai politik dan masyarakat, khususnya generasi baccarat online muda. Sudah saatnya perubahan dan krisis iklim jadi agenda penting pemangku kebijakan dan mendapat perhatian publik yang lebih besar karena amat mempengaruhi kehidupan masyarakat.
“Saatnya memanfaatkan pemilu untuk perubahan,” kata Furqan AMC, Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam acara Rapat Dengar Pendapat yang diselenggarakan oleh The Society of Indonesia Environmental Journalists (SIEJ) yang didukung Kedutaan Besar Amerika Serikat di Hotel Savoy Homann, Bandung, Rabu (27/9/2023).
Kalau hanya didiskusikan, Furqan melanjutkan, persoalan lingkungan tidak akan selesai. Dia menambahkan, perlu pemetaan pemangku kepentingan di persoalan lingkungan ini.
“Masing-masing bisa memilih perannya masing-masing. Semua aksi itu kemudian harus disinergikan. Tinggal pastikan siapa yang bisa merajut,” tuturnya.
Diskusi bertajuk “Memperkuat Narasi Lingkungan di Tahun Politik” tersebut juga diikuti oleh 20 jurnalis dan jurnalis warga yang mengikuti pelatihan pada 26 September, serta sejumlah jurnalis yang bekerja di Bandung. Kegiatan tersebut merupakan rangkaian terakhir dari kegiatan serupa yang digelar di Sorong, Kupang, Medan, dan Surabaya.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Jawa, Barat Haru Suandharu memiliki pandangan serupa Furqan. Haru mengakui, persoalan lingkungan, khususnya di Jawa Barat, cukup besar. Mulai soal sampah, krisis air bersih, perubahan iklim, kualitas udara, deforestasi, kerusakan lingkungan pantai, konflik sumber daya alam, dan pengurangan biodiversitas.
Dia mengatakan, perlu kolaborasi pentahelix untuk menangani persoalan lingkungan. Pemerintah, dunia usaha, akademisi, media, dan masyarakat perlu ikut serta.
Krisis Iklim Jadi Isu Prioritas Pada Pemilu 2024
“Saatnya beralih pada pendekatan pembangunan yang mengedepankan keberlanjutan lingkungan,” tegas Haru.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Padjajaran Firman Manan mengatakan, saat ini partai politik berorientasi pada pasar atau pemilih. “Apa yang diinginkan pasar jadi orientasi partai. Mayoritas bicara ekonomi, bukan lingkungan,” katanya.
Inilah yang menurut Firman menyebabkan tidak banyak partai politik yang menjadikan lingkungan sebagai isu prioritas. “Pada akhirnya potensinya tidak banyak yang akan meletakkan lingkungan sebagai isu prioritas. Mereka akan bicara soal ekonomi,” katanya.
Hasil survei beberapa lembaga seperti menegaskan analisa Firman. Survei YouGov pada tahun 2020 menempatkan Indonesia di peringkat pertama sebagai negara dengan penduduk terbanyak yang tidak percaya akan terjadinya pemanasan global.
Survei Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM pada Maret 2023 juga menemukan sejumlah paradoks. Mayoritas dari 1.083 responden dari 22 perguruan tinggi di Indonesia mengaku terpapar dan terpengaruh oleh isu perubahan iklim (climate change), akan tetapi mereka menganggap isu tersebut bukan prioritas utama untuk ditangani pemerintah.
Prioritas pertama, menurut mayoritas responden, adalah penanggulangan kemiskinan; disusul isu korupsi di urutan kedua; dan isu kesenjangan ekonomi di urutan ketiga.
Oleh karena itu, juru bicara Kedutaan Amerika Serika Michael Quinlan mengatakan, perubahan iklim merupakan isu paling mendesak untuk dikedepankan saat ini.
“Menjadikan isu ini sebagai prioritas dalam wacana publik sangat penting, terutama mengingat banyaknya hal yang riskan pada tahun yang penting ini,” katanya.
Quinlan mengutip penelitian terbaru yang dilakukan oleh Yayasan Cerah Indonesia. Laporan tersebut menunjukkan, sebagian besar partai politik belum memasukkan perubahan iklim atau transisi energi ke dalam platform mereka.
Dia mendorong para jurnalis Indonesia untuk memberikan informasi kepada masyarakat di Jawa Barat tentang dampak perubahan iklim terhadap lingkungan, perekonomian, dan masyarakat, serta membentuk opini publik, dan mendorong pembicaraan seputar perubahan iklim.
Dalam dengar pendapat tersebut, Ketua Bidang SDM dan Litbang KPU Jabar Abdullah Syafii’i menyinggung soal e-voting yang bisa berkontribusi bagi keberlanjutan lingkungan hidup.
Dia mengambil contoh penyelenggaraan pemilu di Jawa Barat, yang memiliki jumlah pemilih terbesar. Untuk 35,7 juta pemilih di Jabar, Syafii’i mengatakan, KPU Jabar harus mencetak 1,2 miliar surat suara sepanjang rangkaian Pemilu 2024.
“Padahal menurut riset, satu rim kertas perlu menebang satu pohon. Berapa pohon yang harus ditebang?” kata Syafii’i.
Menurut dia, KPU akan terus berusaha mengakomodasi keberpihakan terhadap lingkungan hidup pada pemilu. Walau belum bisa mengelenggarakan e-voting tetapi, menurut Syafii’i KPU akan berupaya melakukan e-rekapitulasi hasil pemilu nanti.